Rabu, 01 April 2009

RI tuh katanya dah tidak ada lo...

1). Kronologis Mengenai Hilangnya Nilai Proklamasi 17-8-1945Sebenarnya, sebelum peristiwa 19-12-1948 pun, telah terjadi dua kali penghianatan oleh para pemimpin dari yang menamakan RI itu terhadap nilai proklamasi itu sendiri. Buktinya ialah:(a). Bahwa sebagian bunyi proklamasi 17-8-1945 “Menyatakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia”. Akan tetapi, pada tanggal 25 Maret 1947 dalam “persetujuan Lingar Jati” mereka telah mengakui berdirinya “NIS (Negara Indonesia Serikat)” yang wilayahnya yaitu Borneo (kalimantan) dan Timur besar dibawah kekuasaan Belanda. Sehingga wilayah kekuasaan kaum Nasionalis tinggal Sumatra, Jawa dan Madura. (b). Kemudian pada tanggal 17 Januari 1948, mereka itu menerima pula dasar-dasar Persetujuan Renville ke I yang isinya antara lain:• Pemerintah Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda seluruhnya, sampai batas yang ditentukan oleh kerajaan Belanda untuk menyelenggarakan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat.• Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan, dan tidak lebih dari satu tahun sesudah ditandatangani, maka di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara, untuk menentukan apakah di daerah-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk di bagian lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat.Dengan diterimanya dasar-dasar perjanjian Renville itu, maka wilayah kekuasaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu menjadi lebih kecil lagi ( sampai batas demarkasi Van Mook). Jelas, ini penghianatan terhadap nilai Proklamasi 17 Agustus 1945 oleh para pemimpinnya itu sendiri. Dengan mengakui akan kedaulatan Belanda di sebagian wilayah Indonesia, juga mengakui diadakannya pemungutan suara yang di sodorkan Belanda bagi penentuan kedaulatan, berarti lenyapnya nilai proklamasi kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia.Adanya penerimaan terhadap dasar-dasar dari kedua peristiwa perjanjian dengan Belanda itu, telah mengisyaratkan bahwa para pemimpin dari yang menamakan Republik itu sudah tidak bertanggungjawab lagi terhadap proklamasinya sehingga bersedia didikte oleh kaum penjajah. Klimaks dari sejarah itu membuat kaum imperialis tersebut tadi berani menyerang dan menduduki ibu kota, Yogyakarta. Dan membuatnya Republik menyerah kepada Belanda secara total. Dalam pada itu pemimpin-pemimpin Indonesia telah kehilangan muka. “Nasution malah menganggap peristiwa itu puncak kehinaan”. 2) Lenyapnya Estapeta Kepemimpinan Mengenai RITentu mereka tidak usah merasa malu dan hina seandainya dalam keadaan itu masih ada estapeta kepemimpinan Sukarno kepada pelanjutnya. Akan tetapi, persoalannya lain lagi, karena mereka menginsafi kenyataan bahwa pengibaran bendera putih di tempat kepresidenan itu adalah merupakan peristiwa yang secara total Repblik Indonesia menyerah terhadap Belanda sehingga melenyapkan landasan estapeta kepemimpinannya, baik de facto maupun de jure. Setelah peristiwa 19 Desember 1948 Sukarno bukan lagi Presiden yang mana telah menyerahkan Republik kepada Belanda.Memang pada tanggal 22 Desember 1948 muncul PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam pengasingan yang diketuai oleh Syafrudin Prawiranegara, namun dalam kenyataannya pula diketahui bahwa PDRI itu tidak ada hubungannya dengan Sukarno. Yang mana Sukarno itu menganggap sepi terhadap PDRI. Sikap Sukarno sedemikian itu mungkin karena merasa tidak memberi mandat tentang dibentuknya PDRI. Hal itu diakui pula oleh Syafrudin: “...saya tidak pernah menerima mandat itu... ”. Juga kita kutip keterangan yang bunyinya: “Kami tidak pernah menerima pesan yang berisi mandat bagi Syafrudin untuk membentuk PDRI”, ujar Kolonel (pur.) Kusnadi, salah seorang teknisi dan radio telegrafis kala itu . “Ringkasnya, PDRI dibentuk terutama inisiatif penuh tokoh-tokoh sipil di Sumatera Barat.Juga, seandainya Sukarno memberi mandat kepada Syafrudin tentang PDRI, maka apa yang kan dijadikan landasan struktural mengenai estapeta kepemimpinannya dari Sukarno? Bukankah Sukarno bersama dewan menterinya telah prustasi, mementingkan keselamatan pribadi-pribadinya sehingga memilih pengibaran bendera putih sebagai tanda menyerah? Tidakkah peristiwa pada 19 Desember 1948 dengan keputusan dari sidang dewan menteri memerintahkan Sukarno itu, merupakan penumbukkan yang ketiga kalinya terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh pihak nasionalisnya itu sendiri sehingga proklamasi 17 Agustus 1945 itu bubar? Ingatlah! “...bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 itu sidang di Gedung Agung Yogya memutuskan tidak memilih jalan gerilya ”. Dengan keputusan sedemikian itu berarti tidak akan meneruskan perjuangan. Dengan itu pula maka jelas tidak ada estapeta kepemimpinan dari RI ke PDRI.Dengan keputusan sedemikian itu berarti tidak akan meneruskan perjuangan. Dengan itu pula maka jelas tidak ada estapeta kepemimpinan dari RI ke PDRI.3) Menyerahnya PDRIBagi pihak Nederland dalam menghadapi beberapa kesatuan gerilya yang telah siap melanjutkan perjuangan di luar kepemimpinan Sukarno, maka pihak Belanda itu bersedia membebaskan Sukarno-Hatta beserta tawanan-tawanan lainnya untuk diajak berunding. Adapun dalam menghadapi perundingan tanggal 7 Mei 1949 antara Belanda dan kaum Nasionalis itu, maka “...Sukarno memberikan mandat pada Moh. Roem untuk berunding dengan Van Royen di pihak Belanda, tidak dengan pengetahuan dan persetujuan PDRI. Padahal, baik de facto maupun de jure, Sukarno bukanlah presiden. Syafrudin menolak isi perundingan Roem-Royen itu. “Kami ingin agar Belanda mengudurkan diri dari seluruh Indonesia, dan bukan hanya dari Yogya.” Ucap Syafrudin. “Kalau PDRI yang berunding, pasti hasilnya lebih bagus. Tapi bung Karno memang menganggap sepele PDRI ”. Ditambah pula Sukarno mau berunding, sebenarnya hanya supaya dia cepat keluar dari tahanan”. Kata Syafrudin .Dengan sikap Sukarno yang dilakukan itu, telah membuktikan sejarah bahwa secara hukum; baik formal maupun tidak, maka Sukarno tidak tahu menahu mengenai PDRI. Dan logis bila dalam perundingan pada tanggal 7 Mei 1949 (Renville II) itu, kubu nasionalis kelompok Sukarno tidak mengatasnamakan PDRI. Apalagi bahwa hasil perundingan pada waktu itu pihak Sukarno mengakui bertambah luasnya wilayah kekuasaan Belanda yaitu Negara Indonesia Serikat (NIS). Yang mana secara tidak langsung berarti mengakui berdirinya negara boneka tersebut itu di Indonesia sehingga wilayah kekuasaan Sukarno hanya di Yogyakarta dan beberapa kabupaten.Hal tersebut diatas berarti pula mereka masih mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, yang timbal balikya yaitu bahwa Belanda membiarkan para pemimpin nasionalis kembali ke Yogyakarta, juga Belanda meninggalkan daerah itu. Padahal dengan ditinggalkannya Yogyakarta oleh kaum imperialis itu tidaklah mengandung arti kerugian bagi Belanda. Bahwa darinya mengandung arti kemenangan politik bagi kaum kolonialis tersebut di dunia Internasional. Sebab, disamping de facto maka secara yuridis formal pun kekuasaan tetap di tangan Belanda. Yang mana isi dari perjanjian “Renville II” pun, secara tidak langsung bahwa kubu Yogya telah mengakui kembali penjajahan Belanda atas Indonesia sehingga nilai kemerdekaan bangsa Indonesia beserta proklamasi 17 Agustus 1945-nya.Dan dengan diterimanya isi perundingan 7 Mei 1949 (statement Roem-Royen yang kedua) oleh pihak Sukarno, berarti pihak Yogya “tidak mengakui eksistensinya PDRI” sehingga diambil manfaatnya oleh Belanda guna melumpuhkan gerilya PDRI yang mungkin tadinya bakal ngotot terhadap Belanda, tetapi menjadi lemah karena menghadapi kubu nasionalis pro Sukarno yang telah kembali ke Yogya. Yang mana Sukarno itu lebih memihak pada kehendak Belanda daripada PDRI. “Saya tetap menyesalkan sikap Bung Karno dan Roem, yang mestinya berpihak pada PDRI. Lebih menyakitkan lagi, perundingan Roem-Royen itu dilakukan di belakang kami,” kata Syafrudin.Pada mulanya para pemimpin kubu PDRI itu tidak akan menyerah terhadap kekuatan Sukarno di Yogya. “Semuanya tak mau kembali ke Yogya”. Akan tetapi, karena kubu PDRI itu memahami bahwa kekuatan danpengaruh yang dimiliki Sukarno itu lebih hebat daripada Syafrudin, maka PDRI tidak sanggup bersaing dalam menghadapi pentas politik kubu Yogya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syafrudin: “Saya sepaham dengan pandangan saudara-saudara, tetapi jangan lupa bahwa dunia luar mengetahui siapa Sukarno-Hatta dan Balans Republik Indonesia lebih berat kepada beliau berdua...” . Dan akhirnya pada tanggal 13 Juli 1949 Syafrudin pun menyerah kepada Sukarno. Maka lenyap pula PDRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar