Rabu, 15 April 2009

Dien dalam perspektif tafsir Al-Qur'an

assalaamu’alaikum wr. wb.

Konsep Al-Qur’an Mengenai Islam Sebagai Dien

Menurut Al-Qur’an, Islam adalah nama bagi syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Allah dalam Al-Qur’an menyatakan kitab ini sebagai Kitab Suci dien tersebut. Namun, Al-Qur’an juga menyatakan referensi kedua yang merupakan turunan dari Al-Qur’an itu sendiri, yaitu tradisi Nabi Muhammad saw yang disebut al-hadits (Q.S. [59] : 7). Nama Allah adalah nama absolut ('alam) (Q.S. [112]). Berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, sistem keyakinan dan formal ibadah dalam Islam disusun.

Berkenaan dengan otoritas tertinggi, Allah adalah Tuhan yang menjadi sumber agama melalui wahyu yang dituangkan dalam Al-Qur’an atau diajarkan pada Nabi-Nya, Muhammad saw. Islam membedakan jelas kedudukan Tuhan dan Rasul. Rasul adalah manusia biasa (Q.S. [17] : 93), bukan pembuat agama (Q.S. [69] : 44), tapi bertugas memanifestasikan kehendak Allah dalam perbuatan dan tuturkata (Q.S. [53] : 3-4). Posisi Rasul sebagai sumber hukum adalah posisi secara teknis, adapun hakikatnya Allah adalah sumber hukum yang menurunkan firman atau agama-Nya melalui Rasul.

Dalam Islam, kedudukan dan otoritas Rasul Muhammad saw sebagai penerima wahyu dan legislator agama tidak tergantikan (Q.S. [33] : 40). Oleh karena itu Islam tidak mengenal persona atau institusi ketuhanan yang mengaku punya otoritas dan mengatasnamakan Allah. Pengikut Rasul hanya menggantikan tugas beliau sebagai pelaksana dan penyebar (da’i) terhadap risalah Allah.

Oleh karena itu dalam Islam ada istilah syari’ dan faqih. Syari’ (legislator) adalah sumber agama yang hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Allah dan Rasul-Nya. Sementara manusia yang menerima risalah, berfungsi sebagai faqih, artinya faham, yaitu pihak yang memahami risalah Allah yang diturunkan pada manusia. Faqih ini bisa disebut ulama atau mujtahid. Oleh karena itu, julukan yang diberikan pada para ahli fiqih, yaitu orang yang menggeluti hukum Allah, adalah fuqaha’. Contohnya adalah fuqaha’ sab’ah; generasi murid shahabat (tabi’in) di Madinah yang mumpuni dalam fiqih Islam.

Sebutan "dien" bagi Islam dalam Al-Qur’an diiringi dengan beberapa sifat yaitu "agama yang lurus", "agama yang murni", agama yang benar, "agama disisi Allah", agama yang diterima", "agama Allah", serta "agama yang sempurna, diridhai" (Q.S. [9] : 36, [39] : 3, [48] : 28, [3] : 19, [3] : 83, dan [3] : 85).

Al-Qur’an menegaskan tiga sifat Islam sebagai dien. Pertama, otentik dan valid dengan penjagaan dari Allah (Q.S. [15] : 9). Kedua, sempurna dari kesalahan (Q.S. [41] : 42 dan [9] : 29). Ketiga, satu-satunya jalan keselamatan (Q.S. [3] : 85).

Tiga sifat ini dikukuhkan sebagai jawaban atas kebutuhan manusia pada tuntunan hidup. Orisinalitas Islam meletakkan dien ini steril dari upaya-upaya distorsi-manipulasi sebagaimana agama-agama sebelumnya. Kesempurnaan Islam, bukan hanya berarti Islam adalah agama yang benar, tapi berarti kebenaran Islam bersifat unggul (ultimate). Kalau ada sistem lain yang punya kebenaran, dari banyak segi Islam akan lebih baik lagi. Kesempurnaan ini juga berarti Islam telah melalui proses kelayakan sejarah, dimana konsep Islam pernah mengalami implementasi dan menghasilkan bentuk kehidupan yang sesungguhnya dicari oleh semua manusia. Kesempurnaan Islam juga bermakna Islam adalah dien minus cacat, tidak butuh koreksi, reformasi, dan tidak akan ditemukan kesalahannya meskipun dengan usaha yang paling serius.

Islam sebagai jalan keselamatan tunggal berarti dien ini harus diterima oleh semua manusia yang menginginkan keselamatan. Dien ini harus diserukan kepada semua orang. Dien ini juga menjadi standar untuk mengukur kebenaran bagi nilai apapun yang ditemukan dimuka bumi.

Sebagai klimaks dari prestasi Islam, Allah menyebutkan dien ini diridhai, menurut firman-Nya dalam Q.S. Al-Maidah ayat ke-3, “Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan aku telah genapkan nikmatKu atasmu dan Akupun rela Islam menjadi dien untukmu”. Dalam Islam, ridha Allah adalah tujuan hidup paling utama (ultimate goal), dimana ridha merupakan pernyataan kesesuaian antara fakta dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian ridha Allah pada Islam merupakan rekomendasi terhadap dien ini sebagai syariat bagi manusia dalam mencapai tujuan hidup yang dia cari.

Sementara penganut dien Islam itu disebut muslim. Menurut Al-Qur’an, semua manusia memiliki kesempatan terbuka untuk memeluk Islam dan mengamalkan agama ini sesuai dengan kehendak Allah. Kesempurnaan Islam menjadikan dien ini bisa berintegrasi dengan sempurna dalam wujud ketaatan seorang hamba. Integrasi antara syariat dan ketaatan disebut amal saleh, yaitu suatu amalan yang memenuhi dua kriteria ; kesesuaian dengan ketentuan Allah dan dilandasi keikhlasan.

Dalam konteks personal, integrasi antara iman dan amal (syariat dan ketaatan) digambarkan oleh Allah dalam surah Al-Bayyinah. Dalam surah ini Allah membandingkan ketaatan yang dilakukan oleh ahlul kitab dan musyrikin disatu sisi dengan ketaatan seorang mu’min. Menurut Allah, ahlul kitab dan musyrikin adalah kafir dan mendapat balasan neraka, sementara mu’min adalah diridhai Allah dan mendapat balasan surga. Tak hanya dalam konteks personal, menurut Al-Qur’an, integrasi antara iman dan amal ini juga mewujud dalam konteks masyarakat. Dalam surah At-Taubah, Allah menyatakan bahwa golongan muhajirin dan anshar yang membentuk komunitas masyarakat dan negara di Madinah, telah mencapai keadaan “diridhai Allah dan Allah-pun ridha pada mereka”.

Ini berarti bahwa impementasi ideal terhadap ajaran Islam bukan ada dalam imajinasi layaknya konsep hidup di luar Islam yang selalu mencari model implementasi ideal. Konsep-konsep ini akhirnya hanya bertahan sebagai eksperimen tanpa menemukan ruangan nyata bagi ide-idenya.

Oleh karena itu, para shahabat ditempatkan dalam peringkat pertama sebagai sumber dalam memahami syariat. Dalam kaidah tafsir dikatakan, “Penafsiran shahabat Nabi, lebih diutamakan daripada yang lainnya”. Rasulullah saw. memerintahkan untuk meneladani para shahabat dalam menjalankan agama.

Adapun dien Islam, sejak diawal sudah menampilkan satu harmoni yang mengambarkan keselarasan antara konsep dan realita. Karakter dari sumber agama Islam jauh dari kepelikan-kepelikan seumpama premis filsafat atau kebuntuan makna dalam kitab-kitab suci yang telah terkorupsi (corrupted scriptures).

Muslim dengan seksama dan mudah dapat menemukan referensi terhadap semua persoalan hidupnya. Mulai dari persoalan kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, negara, parlemen, perbankan, hingga masalah yang sangat privat seperti tata cara mencuci najis sehabis buang air kecil (istinja’). Semua rambu-rambu, simbol, metode, tata cara, hukum-hukum, keyakinan dan juklak diatur dalam bab-bab dengan sistematis pada kitab-kitab hadits dan fiqih.

Lagi-lagi ide liberal mengalami kebuntuan tatkala berhadapan dengan dien Islam. Tudingan hermeneutis yang mempersoalkan kesenjangan antara kata dan makna, semisal anggapan kemustahilan untuk menemukan kebenaran hakiki saat menafsirkan Al-Qur’an, dengan sendirinya terbantahkan.

Al-Qur’an telah merekomendasikan kehakikian Islam sebagai dien dalam arti syariat dan dien dalam arti kemungkinan implementasinya dalam wujud ketaatan personal maupun masyarakat. Ini artinya proses ketepatan pengamalan Islam yang berangkat dari penafsiran terhadap nash sangatlah terjamin. Allah menjaga Al-Qur’an baik sebagai rasm (scripture), sebagai mushaf (canon), sebagai bacaan (recitation), maupun sebagai ajaran yang mengandung makna-makna (meanings). Allah berfirman, “Sesungguhnya (menjadi tanggungan) Kami-lah penyusunan Al-Qur’an (dalam dadamu) dan pembacaannya. Jika sudah kami baca, maka ikutilah bacaannya. Lalu Kami-lah yang akan menjelaskan isinya.” (Q.S. Al-Qiyaamah [75] : 17-19). Ditempat lain, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya” (Q.S. Al-Hijr [15] : 9).

Rekomendasi Al-Qur’an ini dirinci dalam sistematika disiplin ilmu yang menjaga orisinalitas teks dari pemalsuan, dan orisinalitas makna teks dari penafsiran yang bathil. Maka dalam disiplin ilmu Islam, kita akan menemukan dua jenis ilmu pemelihara, yang satu mengarahkan kerjanya pada penjagaan orisinalitas teks, yaitu ilmu hadits, dan ilmu riwayat yang diarahkan pada penjagaan terhadap keaslian makna teks yaitu ilmu ushul fiqih dan ilmu tafsir.

Benturan liberal terhadap dua jenis disiplin ini begitu memutus-asakan mereka sehingga sampai saat ini tidak ditemukan satupun metodologi yang sanggup menandingi kecanggihan apalagi menggugurkan dua genre disiplin ini. Jikalau eksperimen orientalisme dinilai sebagai gerakan resmi telah muncul pada abad kesepuluh di masa Paus Sylvester II, berarti saat ini sudah 1000 tahun kegiatan dekonstruksi terhadap Islam itu berlangsung. Sepanjang masa ini, dapat dinilai usaha-usaha orientalisme telah gagal meskipun ditopang dengan kerja yang sangat sistematis, serius dengan skill yang sangat tinggi. Maka, anak-anak muda liberal yang baru belajar pada orientalisme itu, rasanya lebih pantas untuk diragukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar